Ketangguhan dalam Peran Ganda: Sebuah Refleksi Diri
Fathir Rahmah
Senin, 14 Juli 2025
Dalam dinamika kehidupan modern, individu kerap dihadapkan pada kompleksitas peran yang harus dijalani secara bersamaan. Tidak sedikit yang berada dalam situasi di mana tanggung jawab akademik, profesional, dan sosial saling bersinggungan dalam satu waktu. Di tengah tuntutan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: sejauh mana seseorang mampu bertahan, tanpa kehilangan arah dan semangat?
Tulisan ini mengangkat narasi personal tentang seorang individu yang menjalani fase hidup dengan beban tanggung jawab yang berlapis, terutama setelah menerima amanah untuk mengelola lembaga pendidikan berbasis pesantren milik keluarganya. Narasi ini bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan refleksi tentang makna tanggung jawab, ketahanan mental, dan spiritualitas dalam menghadapi ujian hidup.
Sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Insyirah ayat 6:
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,”
Allah tidak hanya menyampaikan sekali, tetapi mengulanginya dalam ayat berikutnya. Pengulangan ini bukan tanpa makna. Ia menjadi bentuk peneguhan dari Sang Khalik, seolah ingin meyakinkan hamba-Nya bahwa setiap kesulitan pasti disertai jalan keluar. Bahwa di balik ujian yang tampak berat, tersembunyi ruang kemudahan yang akan terbuka seiring dengan kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan kepada-Nya.
Satu Amanah, Banyak Ujian
Ia adalah seorang pelajar pascasarjana yang di usia mudanya, telah diberikan amanah besar oleh ayahnya untuk mengelola pesantren keluarga. Sebuah tanggung jawab yang bukan hanya administratif, melainkan juga menyangkut masa depan generasi, nilai-nilai dakwah, dan keberlanjutan visi pesantren yang telah dirintis sejak lama.
Dalam menjalani peran tersebut, ia tidak hanya berhadapan dengan tantangan organisasi dan manajerial. Ada tekanan psikologis yang muncul, baik dari ekspektasi masyarakat maupun dari kondisi internal pesantren yang perlu pembenahan. Ia menggantikan seseorang yang sebelumnya meninggalkan sejumlah masalah, sehingga sejak awal harus berhadapan dengan situasi yang tidak ideal.
Tekanan, Luka, dan Kesabaran
Dalam dunia kerja, ia menghadapi banyak tekanan. Bukan hanya tentang beban kerja, tapi juga soal kesalahpahaman, prasangka, bahkan pernah kesalahan orang lain yang harus ia tanggung. Ia pernah dimarahi di hadapan publik, dianggap tidak kompeten, dan dinilai secara sepihak. Namun yang membuat kisahnya berbeda adalah ketabahannya dalam diam. Ia tidak membalas. Ia tidak menyebarkan pembelaan. Ia memilih jalan sunyi: memperbaiki dengan tindakan, bukan dengan kata-kata. “Aku seperti berjalan di atas kaca pecah,” katanya suatu waktu. “Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi harus terus berjalan.”
Ketika ia nyaris menyerah, ia kembali mengingat nasihat yang tertanam sejak kecil kalimat sederhana yang selalu diulang sang ayah:
“Fa inna ma'al ‘usri yusra, inna ma'al ‘usri yusra.”
(Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.)
Bagi dirinya, ayat ini bukan sekadar penghibur. Tapi janji Tuhan yang benar adanya. Dan ia percaya, selama ia bersabar, kelak akan datang kemudahan yang tak terduga.
Empat Peran, Satu Tujuan
Ia menjalani hari-harinya dengan empat peran utama:
- Sebagai pengelola pesantren, ia harus bijak dan visioner.
- Sebagai mahasiswa doktoral, ia dituntut disiplin dan konsisten.
- Sebagai pekerja profesional, ia dituntut objektif dan produktif.
- Sebagai anak tumpuan harapan orangtua, ia dituntut untuk menjadi teladan.
Tiap peran memiliki tantangannya sendiri. Tidak jarang satu konflik datang bersamaan dengan yang lain. Saat sedang menghadapi tugas kuliah yang mendesak, ia harus menangani persoalan santri. Saat tubuhnya lelah karena kerja, ia tetap harus hadir secara utuh di rumah dan di ruang kelas. Namun semua ini dijalaninya bukan karena ingin dipuji. Tapi karena ia percaya, hidup yang bermakna adalah hidup yang digunakan untuk memberi. Memberi tenaga, waktu, pikiran, dan kebermanfaatan.
Sebagaimana Imam Al-Ghazali pernah berpesan:
“Tanda orang berakal adalah ia mampu menyesuaikan diri dalam kesempitan, dan tetap istiqamah dalam kelapangan.”
Penutup: Untuk Mereka yang Bertahan
Tulisan ini dipersembahkan untuk siapa pun yang sedang menjalani perjuangan sunyi. Untuk mereka yang tidak banyak bicara, tapi memikul beban berat dalam diam. Untuk mereka yang tidak menyerah, meski setiap hari harus melangkah di antara luka.
Perjuangan bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, melainkan siapa yang tetap bertahan walau banyak alasan untuk berhenti. Dan percayalah, bahwa Allah melihat. Bahwa setiap tangisan yang tak terdengar akan dibalas dengan kemuliaan. Bahwa setiap kesabaran, seberat apa pun, akan berujung pada kebaikan yang tak terduga.
“Dan bersabarlah; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Anfal: 46)
Kelak, saat semua ini telah terlewati, kita akan memandang ke belakang dan menyadari:
semua luka itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menempa. Bukan untuk melemahkan, tapi untuk menguatkan.
by Fathira.
Tidak ada komentar