BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Apa pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa kategori siswa pendidikan inklusif?
3. Apa prinsip dasar pendidikan inklusif?
4. Apa tantangan implementasi pendidikan inklusif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusif
` Istilah Inklusi berasal dari bahasa Inggris “inclusion” yang berarti sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri atau visi misi sekolah. Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak” harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak orang untuk memahaminya.
Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:
- Menurut Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
- Staub dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun kelainan jenisnya.
- Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya.
Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.
Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
B. Kategori Siswa Pendidikan Inklusif
Dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki kecerdasan ddan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian pada pasal 3 disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa.
Adapun yang termasuk anak dengan kebutuhan khusus adalah:
- Anak tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.
- Anak tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan mendengar sebagian.
- Anak tunagrahita, yaitu anak yang memiliki keterbatasan perkembangan fungsi-fungsi inteligensi, kapasitas inteligensinya berada di bawah rata-rata anak.
- Anak tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.
- Anak tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan psikologis, atau anak dengan hambatan mental.
- Anak berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang terkait atau pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai dengan kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.
- Anak lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan dengan IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.
- Anak berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ yang secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik tertentu.
- Anak autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.
C. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif
Prinsip pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya:
- Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa.
Pendidikan inklusif merepresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan saja menolak diskriminasi dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak azazi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman.
2. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.
Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.
3. Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances.
Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu melakukan check dan balances. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances. Sangat antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.
Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah inklusi sebagai berikut:
- Prinsip motivasi. Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
- Prinsip latar/konteks. Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
- Prinsip keterarahan. Setiap anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
- Prinsip hubungan sosial. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
- Prinsip belajar sambil bekerja. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.
- Prinsip individualisasi. Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
- Prinsip menemukan. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.
- Prinsip pemecahan masalah. Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.
D. Tantangan Implementasi Pendidikan Inklusif
Ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus yaitu:
- Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
- Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragaman.
- Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Naional pasal 41 ayat 1 tentang keharusan memiliki tenaga kependidiakn khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan yang ditandai dengan munculnya gejala “ekslusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
- Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
- Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya mengakmodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah dan sebagainya. Padahal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
- Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah berstandar nasional (SNI), sekolah rintisan berstandar nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua karena menerima anak berkebutuhan khusus dengan sekolah special school.
- Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
- Kategori siswa pendidikan inklusi yaitu peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
- Prinsip dasar pendidikan inklusif yaitu: a) pendidikan inklusif membuka kesempatan kesempatan kepada semua jenis siswa, b) pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling, c) pendidikan inklusif selalu melakukan check dan balances. Sedangkan prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalam sekolah inklusif yaitu: a) prinsip motivasi, b) prinsip latar/konteks, c) prinsip keterarahan, d) prinsip hubungan sosial, e) prinsip belajar sambil bekerja, f) prinsip individualisasi, g) prinsip menemukan, h) prinsip pemecahan masalah.
- Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
- Ada beberapa tantangan implementasi pendidikan inklusif yang harus ditangani secara bijak dan serius sehingga pelaksanaan pendidikan inklusi berhasil.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran, saran serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Abdul Wahab, Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan public, Malang: UMM Press, 2011.
Ilahi, Mohammad Takdir, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Iswari, Mega, Kecakapan Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, Padang: UNP Press, 2008.
Khalsa, Sirinam, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, Laverett: Permission Publisher, 2004.
Mudjito dkk, Pendidikan Inklusif, Jakarta: Baduose Media, 2012.
R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, Surabaya: Universitas Sebelas Maret, 2013.
Smith, David Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Nuansa, 2012..
Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif, Padang: UNP Press, 2009.
Tidak ada komentar